Selasa, 16 Desember 2008

Meliat masa lalu orang sasak


Lombok memang masih menjadi "laboratorium konservasi" naskah Jawa Kuna dalam perspektif Islam, sama halnya dengan masyarakat Suku Bali yang melestarikan naskah Jawa Kuna bernapaskan Hindu. Sepenggal perjalanan ini telah berhasil menemui salah seorang pelestari lontar, kelompok pembacanya dan tentunya untuk mencari tahu asal-usul lontar Lombok, yang merupakan bukti tertulis sejarah panjang Lombok dan kehadiran Islam di sana.

HAJI Lalu Ambawa (70) tampak meringis ketika dijumpai di rumahnya,
Desa Penujak, Lombok Tengah, NTB. "Maafkan, sakit gigi saya lagi
kambuh," tuturnya. Suaranya hampir tidak terdengar, namun semangat
bicara pensiunan guru sekolah dasar ini bangkit saat ditanya soal
naskah lontar.

Dia bergegas masuk kamar dan membawa Lontar (Takepan) Asmaragama, dan
membongkar tumpukan buku di atas meja di hadapannya. Dia menunjuk buku
berjudul Sembaga Sejarah Agama Budaya, yang hampir tiap lembarnya
bergambar tokoh wayang Sasak. Buku dari kertas folio itu dilengkapi
daftar isi: Al Qur'annulkarim, Berita Alam Gaib, Babat Purwa Gama,
Wekasan Bape dan Wasiat Ayahku.

Buku itu terdiri dari 17 tembang dan 332 bait. Isinya merupakan
intisari Takepan Puspakarma, Asmaragama yang dikaitkan dengan ajaran
Islam yang terkandung dalam Al-Quran dan Hadist Nabi Muhammad SAW.
Karya ini berkali-kali difotokopi anggota pepaosan (kelompok pembaca
naskah lontar) di desa setempat dan desa tetangganya.
AMBAWA bisa dikatakan satu dari sekian banyak pelestari lontar di
Lombok. Tidak terhitung banyaknya lontar yang sudah dibacanya,
dihayati isinya dan disalin intisarinya ke kertas dengan aksara
Jejawan, turunan aksara Jawa Hanacaraka. Kiprah Ambawa ini mungkin
mewakili pendapat yang menyatakan Lombok adalah "laboratorium
konservasi" naskah Jawa Kuna dalam perspektif Islam. Ini sama halnya
dengan masyarakat Suku Bali yang melestarikan naskah Jawa Kuna
bernapaskan Hindu, kata drs Nyoman Argawa, sarjana filologi dan
karyawan Museum Negeri Nusa Tenggara Barat (NTB).

Argawa menunjuk hasil pendataan Museum Negeri NTB bersama Ford
Foundation tahun 1993. Sedikitnya 632 naskah disimpan penduduk. Jumah
ini lebih banyak dari pendataan Schreuder, Asisten Residen Lombok pada
tahun 1928, yaitu sebanyak 556 naskah. Pendataan 1993 itu baru
dilakukan di lima desa dari empat kecamatan yaitu Kecamatan Gangga,
Kodya Mataram, Labuapi (Lombok Barat), Pujut (Lombok Tengah) dan Sakra
(Lombok Timur). Dari pendataan itu ternyata rata-rata 20 naskah
ditemukan di tiap desa.

Jika di Pulau Lombok, minus Kodya Mataram, terdapat 271 desa, maka -
dengan asumsi 20 naskah/desa - diperkirakan masih ada 6.773 naskah
milik pribadi masyarakat. Ini belum termasuk koleksi Museum Negeri NTB
hingga Desember 1995 sebanyak 1.275 buah.

Buku Aneka Sari susunan I Nengah Tinggen, pemerhati lontar, menyebut
sedikitnya 386 naskah Sasak dikoleksi Balai Kirtya Singaraja, Bali.
Jumlah ini di luar koleksi museum di London Inggris. Zoetmoelder pun
mengakui Lombok sebagai sumber naskah terbesar bagi Perpustakaan
Universitas Negeri Leiden Belanda
GAMBARAN dalam angka itu kecuali menunjukkan betapa banyaknya lontar
yang ada di Lombok, juga mengundang pertanyaan: kapan masyarakat
Lombok mengenal tulisan, mengapa lontar disadur maupun
ditransliterasikan, bagaimana persepsi masyarakat Lombok pada isi
lontar, bagaimana perhatian pemerintah terhadap pelestarian aksara
Jejawan sekaligus tradisi pepaosan.

Ada yang mengatakan tradisi sastra dan tulis-menulis dimulai di Lombok
bersamaan dengan lahirnya Prasasti/Bencangah Punan yang ditulis
menggunakan aksara Jejawan yang menceritakan kedatangan Gajah Mada ke
Lombok tahun 1357.

Isyarat lain terdapat pada tulisan Makam Raja Selaparang di Lombok
yang oleh Sutterheim diidentifikasi memakai aksara Jawa Kuno. Candra
Sangkala pada makam itu berbunyi memesan gagaweyan para yuga, yaitu
1142 Hijriah atau 1729 Masehi. Angka tahun ini dihubungkan dengan
kematian seorang Raja Selaparang di Lombok.

Ada pula yang menduga tradisi itu bermula pada abad ke-16, saat Sunan
Prapen (putra Sunan Giri) menyiarkan Islam di Lombok. Alasannya, karya
sastra Jawa yang disalin sastrawan Sasak seperti Jatiswara,
Purwadaksina, Rengganis dan lainnya, umumnya bernapaskan Islam. Bahkan
Purbatjaraka dalam bukunya Kepustakaan Jawi menyatakan, Serat Menak
yang tersebar di Lombok termasuk tua dan menggunakan Bahasa Jawa Kuna.

Benar-kelirunya perkiraan ini masih perlu pembuktian. Yang jelas
dikenalnya aksara Jejawan, dan eksodus orang Bali yang menjadikan
Lombok koloni Karang Asem (1740-1894), menumbuhkan minat menulis di
Lombok. Dan lahirlah sastrawan dan "pujangga" yang karyanya masih
terlihat sampai sekarang. Bahkan hal itu berpengaruh besar dalam
kebudayaan Sasak sendiri.

Katakanlah seni pewayangan dan kelompok pepaosan yang sumber
tuturannya dari lontar, yaitu Serat Menak. Demikian pula adat istiadat
perkawinan sorong serah atau nyongkol (keluarga pengantin pria
mengunjungi keluarga pengantin putri). Dalam prosesi adat ini para
pembayun (pimpinan kubu pria-wanita) berdialog dalam bahasa Kawi yang
digunakan pada naskah daun til itu.

Lebih dari itu, lontar merupakan sumber referensi bagi para mubalig
dan kiai melaksanakan dakwah, sekaligus sebagai media komunikasi
antarumat Islam, karena isi lontar mengandung nilai muamalah dan
keagamaan lainnya.

Disadari atau tidak, bukti itu menepis sementara anggapan bahwa lontar
"dekat" dengan perbuatan syirik, bid'ah dan sebangsanya. Penekun
lontar Ambawa menunjuk koleksinya: Lontar Asmaragama yang di dalamnya
terangkum ajaran Tri Sipta Raharja Dumadi, tiga sistem membina hidup
sejahtera yaitu pendidikan rumah tangga (warga), pendidikan formal dan
pendidikan lingkungan/masyarakat. Ajaran ini bukan saja tesirat dan
tersurat dalam Al-Quran, tapi juga menjadi dasar kebijakan pemerintah
dalam pendidikan nasional.

Dikatakan pula, syiar Islam awalnya disampaikan secara lisan, lalu
sejalan dengan perkembangan zaman, syiar disampaikan lewat tulisan
dalam bentuk hikayat, sejarah, syair dan karya sastra lainnya. Keadaan
itu betapa pun merangsang orang belajar baca tulis.

"Bila dikatakan syirik, bid'ah dan sebangsanya, itu lebih dikarenakan
orang bersangkutan keliru menafsirkan makna isi naskah," kata Amak
Iduk, warga Lingkungan Bendega, Kodya Mataram. Buruh serabutan ini,
mengaku pernah memiliki lontar Ana Kidung. Naskah berisi falsafah
ketuhanan ini, panjangnya kurang sejengkal tangan orang dewasa dan
oleh sementara kalangan digunakan untuk azimat. "Itulah sebabnya, saya
menyalinnya, agar orang tidak salah mengartikan pesan tersurat maupun
tersirat isi lontar," ucap Ambawa seraya menunjuk buku karyanya tadi.

Tampaknya pendapat Ambawa senada dengan TD Sudjana, pemerhati budaya
Cirebon, dalam seminar nasional Hanacaraka, menyambut Dasawarsa
Lembaga Javanologi, medio April 1994, di Yogyakarta. Dikatakan aksara
Jawa yang berjumlah 20 itu, merupakan perlambang sifat Tuhan yang
disebut "Sifat 20". Penegasan itu dikutipnya tahun 1988 dari Pangeran
Sulaiman Sulendraningrat, ahli tarekat Satariah Muhammadiyah, di
Kaprabonan Cirebon.

SEPERTI sudah disinggung di atas, dikenalnya budaya tulis tampaknya
sangat mewarnai kebudayaan Sasak. Hal ini bisa disaksikan dari naskah
yang ditemukan maupun yang disimpan pemiliknya di Lombok. Berdasarkan
aksara dan bahasanya naskah-naskah itu bisa dipilah menjadi naskah
Sasak-Lombok, Bali-Lombok dan Melayu-Lombok. Naskah yang ditulis
sastrawan Lombok umumnya beraksara Jejawan atau Arab Melayu dan
berbahasa Sasak, Jawa Madya (Kawi) dan Bahasa Sasak reramputan
(campuran bahasa Sasak, Bali, Jawa, Melayu).

Kecuali itu ada pula Lontar Sasak yang ide dan isi ceritanya
diciptakan pengarang Sasak: Lontar Monyeh, Subandar, Doyan Neda, Babat
(sejarah) Sakra dan lainnya, di samping naskah gubahan daerah lain
macam Lontar Rengganis (Jawa Madya), Lontar Sidik Anak Yatim (Melayu),
serta naskah adaptasi yang umumnya berasal dari Jawa Timur bagian
utara, umpamanya Lontar Yusuf, Tapel Adam, Ana Kidung dan lainnya.

Naskah Sasak berbentuk macapat (puisi) dan gancaran (prosa) itu
diungkapkan lewat tembang (dilagukan) dengan irama durma, sinom,
smarandhana, pangkur, dangdang dan maskumambang, serta disampaikan
secara kelompok yang masing-masing bertugas sebagai pemaca (pembaca),
pujangga (penerjemah, pengulas, penafsir) dan beberapa penyokong
(pendukung vokal). (Baca juga tulisan Cepung dan Lontar Monyeh di
halaman 19).

Penduduk suku Sasak juga mengenal pembacaan hikayat (bekayat) dan
nyaer (syair) - semacam tradisi membaca di daerah Melayu - seperti
Hikayat Nabi (Qisasul Anbiya), Ali Hanafiah, Qamaruzzaman, Siti
Zubaidah dan Saer Kubur. Ini dibaca untuk memeriahkan Maulid Nabi
Muhammad SAW atau acara ngurisang (potong rambut bayi) dan khitanan.
Sedang pembacaan lontar biasanya berlangsung pada acara adat istiadat
perkawinan atau selamatan panen padi (Lontar Joarsah).

Pada komunitas tertentu - lebih karena sugesti - pembacaan naskah
dimaksudkan juga untuk pengobatan anak yang belum bisa berjalan
(Lontar Kawitan Selandir), anak sulit bicara (Lontar Indarjaya), dan
anak "dungu" (Indrabangsawan-Jawi). Bagi ibu yang tidak segera menjadi
hamil dibacakan bait tertentu naskah Puspakarma, lalu lontar dibasahi
air yang kemudian diminum ibu bersangkutan

KEJAYAAN tradisi penulisan dan sastra di bumi Lombok berlangsung
semasa penjajahan Belanda dengan diajarkannya aksara Jejawan di
sekolah dasar. Sebagai pedoman pengajaran adalah buku Galang Bulan
berbahasa Sasak yang disusun Waloeja (1934), menyusul buku Aksara
Anacaraka Siq Bekadu Leq Gumi Sasak, artinya Aksara Anacaraka yang
digunakan di Bumi Sasak (baca Lombok), yang disusun Laloe Mesir
(1930). Kedua buku diterbitkan Landsdrukkerij di Batavia (Jakarta).

Ketika itu, kemampuan baca-tulis Jejawan adalah "ladang" mendapatkan
uang rokok, mengingat aksara ini dipakai untuk perjanjian jual-beli,
surat dan pemilikan hak atas tanah. "Saya sering buatkan teman-teman
surat cinta," tutur Lalu Sjafii, pemuka adat warga Dusun Renggung,
Desa Kopang, Lombok Tengah.

Terjadinya pergolakan politik ditambah perubahan kurikulum,
menyebabkan sejak tahun 1960 pengajaran aksara dan bahasa daerah
Lombok praktis tidak ada lagi. Akibatnya, satu generasi Sasak yang
kini berusia 30-40 tahun buta aksara Jejawan.

Toh kondisi itu tidak menyurutkan semangat para sastrawan Sasak di
pedesaan untuk menyalin bait lontar dan diikuti tumbuhnya kelompok
pepaosan yang nyaris selalu meramaikan acara hajatan, selamatan desa
dan adat istiadat perkawinan lainnya.

Mawardi, warga Dusun Tenang, Desa Sengkol, Kecamatan Pujut, Lombok
Tengah, melakukan hal sama. "Bila ada yang senang, buku itu diambil,
sehingga saya harus menyalin terus," katanya.

Demikian pula Amak Marendah, penduduk Dusun Tarong-arong, Desa
Teruwai, Lombok Tengah. Marendah tidak hapal jumlah naskah yang
disalin ke daun lontar. Terkadang pembelinya memberi Amak Marendah
menggarap sawah untuk beberapa kali musim tanam sebagai pembayaran
lontar yang disalinnya.

Sedang Amak Junep, warga Desa Embungtiang, Kecamatan Sakra, Lombok
Timur, malah mengembangkan isi Babat Sakra, sejak pemerintahan
Belanda, Jepang, NICA, masa kepemimpinan Presiden Soekarno dan
Soeharto sampai soal tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal asal desa
itu. Dia juga menyalin Cerita Buyung Permai, bacaan untuk siswa SD,
dari aksara latin ke aksara Jejawan.

KEPEDULIAN pemerintah terhadap masa depan aksara dan lontar Sasak ini
membesarkan hati. Sebutlah Museum Negeri NTB sejak tahun 1989
memprakarsai Lomba Membaca Lontar yang kini menjadi mata lomba dalam
Bulan Apresiasi Budaya (BAB) NTB tiap tahun.

Kegiatan ini membuktikan seni baca lontar masih memiliki pendukung,
meski jumlahnya relatif kecil. Hal ini bisa dilihat dari peserta
kelompok pepaosan yang mengikuti lomba membaca lontar. Tahun 1990
lomba itu diikuti 16 grup dengan peserta usia 40 tahun, dan Agustus
1996 tercatat 34 grup dengan peserta kalangan remaja dan orang tua.

Pentingnya warisan budaya ini dilestarikan, mendorong Presiden
Soeharto menyumbang beberapa unit komputer beraksara Jejawan bernilai
Rp 1 milyar. Belakangan peralatan itu belum bisa dimanfaatkan optimal,
mengingat terbatasnya kalangan yang mengerti dan menulis aksara
Jejawan.

Memang mulai tahun ajaran 1994/95 aksara Jejawan diajarkan sebagai
muatan lokal di SD (kelas III sampai kelas VI) di Lombok. Upaya ini
kecuali mendekatkan generasi muda pada naskah, juga membuka peluang
menelusuri jejak masa lalu Lombok yang selama ini masih samar-samar.

Apalagi dewasa ini banyak naskah berpindah tangan dari pemilik kios
cenderamata yang memotong naskah dari satu menjadi beberapa bagian
lantas dijual sebagai cenderamata pada wisatawan. Kondisi ini bisa
membuat generasi Sasak masa depan kehilangan sumber sejarah.

Mungkin terlalu dini mengharapkan banyak hal dari pengajaran aksara
Jejawan di sekolah, karena sifat pengajarannya baru sampai pada tahap
pengenalan awal. Untuk jangka panjang perlu dipikirkan berdirinya
lembaga khusus yang mengkaji, meneliti pernaskahan, seperti halnya
Balai Kirtya di Singaraja Bali.

Upaya itu bisa dimulai dari perguruan tinggi yang membuka
jurusan/bidang studi fakultas sastra daerah. Tanpa tersedianya media
kajian dan penelitian, jangan-jangan upaya menyambung benang merah
kebudayaan Lombok putus di paruh perjalanan, karena apa yang diperbuat
Mawardi, Amak Marendah, Amak Junep dll sudah merupakan sumbangan luar
biasa buat budaya tulis dan pengarsipan, tiang utama kesinambungan
kebudayaan seperti terlihat dengan gamblang pada semua bangsa besar.
Dan karena kebudayaan bukanlah sesuatu yang tetap, maka pengkajian dan
pengembangannya menjadi tanggung jawab masyarakat kini.

0 komentar:

Posting Komentar