Selasa, 16 Desember 2008

Jejak Kemegahan Sasak

    Agregar a Del.icio.us Agregar a DiggIt! Agregar a Yahoo! Agregar a Google Agregar a Meneame Agregar a Furl Agregar a Reddit Agregar a Magnolia Agregar a Blinklist Agregar a Blogmarks


Sejarah sastra sasak, yang tertuang dalam hikayat dan lontar, memang tidak terlepas dari sejarah masyarakat di dalamnya. Masyarakat sasak nya adalah sebuah warisan dari kebudayaan yang besar.Mulai dari Kerajaan Sokong, Bayan, Selaparang, Pejangggik, di Pulau Lombok menceritakan tentang peradaban-peradaban agung negeri ini di masa lalu. Kerajaaan Sape, Bima, Dompu, Sumbawa dan Kerajaan-kerajaan di Sumbawa Barat, seluruhnya menceritakan betapa masyarakat negeri ini telah berkembang pada tingkat kebudayaan yang sangat baik pada ratusan tahun silam. Kerajaan Taliwang, Dompo, Sape, Sanghyang Api, Bima dan kerajaan Hutan, bahkan telah diperhitungkan dan terintegrasi dalam wilayah Kerajaan Majapahit.

Negeri ini telah berkembang pesat di masa lalu dalam bidang kebudayaan dan sastra. Para intelektual masyarakat Selaparang dan Pejanggik di pulau Lombok sangat mengetahui Bahasa Kawi. Bahkan kemudian dapat menciptakan sendiri aksara Sasak yang disebut sebagai Jejawen. Dengan modal Bahasa Kawi yang dikuasainya, aksara Sasak dan Bahasa Sasak, maka para pujangganya banyak mengarang, menggubah, mengadaptasi, atau menyalin bahasa Jawa kuno ke dalam lontar-lontar Sasak.

Lontar-lontar dimaksud, antara lain Kotamgama, Lapel Adam, Menak Berji, Rengganis, dan lain-lain. Bahkan para pujangga juga banyak menyalin dan mengadaptasi ajaran-ajaran sufi para Walisongo, seperti lontar-lontar yang berjudul Jatiswara, Lontar Nursada dan Lontar Nurcahya. Bahkan hikayat-hikayat Melayu pun banyak yang disalin dan diadaptasi, seperti Lontar Yusuf, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Sidik Anak Yatim, dan sebagainya.

Melalui karya-karya tersebut, jelas berbekas kemegahan dan ketangguhan masyarakat di dua pulau ini. Dan ini terbukti menjadi hambatan yang sangat besar bagi kolonialisme Belanda untuk masuk menjajah. Belanda harus menggunakan angkatan perang yang besar untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan di Lombok. Sedangkan di Pulau Sumbawa, Belanda harus berhadapan dengan perlawanan-perlawanan yang hebat dan muslihat-muslihat dari pemimpin-pemimpin lokal yang tak rela dengan segala bentuk penjajahan dan penindasan asing atas ekspansi wilayah mereka.

Memang sebelumnya terjadi Perang Undru di Taliwang Sumbawa tahun 1906, Perang Baham di Lunyuk Sumbawa tahun 1907, Perang Dena Bima tahun 1907, Perang Donggo Bima tahun 1907-1909, dan Perang Ngali Bima tahun 1908. Dan ini menjadi bukti, bahwa masyarakat NTB adalah bangsa pejuang yang dengan tangguh mempertahankan kedaulatannya.

Kemerdekaan telah menyatukan kedua pulau ini dalam satu wilayah administrasi propinsi. Bukan suatu pilihan yang tanpa dasar, masyarakat dua pulau ini telah bekerjasama dengan sangat baik juah sebelumnya. Kerajaan-kerajaan dari Sumbawa Barat telah menjalin hubungan yang sangat baik dengan pusat-pusat peradaban di pulau Lombok.

Tak sebatas hubungan pertalian darah dan berdagang, yang juga mengintegrasikan peradaban-peradaban lain di Sulawesi, Bali dan Jawa, akan tetapi juga kerjasama untuk berjuang melawan penjajahan. Sesuatu yang menghasilkan ikatan emosional yang kuat antar kedua negeri dan selanjutnya menjadi landasan yang kuat untuk mempersatukan dua pulau, dua masyarakat dalam satu wilayah provinsi. Landasan persatuan yang paling tinggi adalah kesamaan idiologi mayoritas masyarakatnya yang beragama Islam. Inilah jejak kemahsyuran, kemegahan, dan ketangguhan masyarakat berbudaya.


0 komentar:

Posting Komentar