Selasa, 16 Desember 2008

Gambar Sasakku

Gunung rinjani
Peresean(olah raga sasak)


Acara Perang Topat
Acara Perang Topat

Bau Nyale

Read More......

Perang Topat

Perang Topat yaitu saling melempar dengan ketupat antara peserta yang ada di halaman Kemaliq yaitu tempat yang sangt disucikan atau dikeramatkan oleh sebagian Suku Sasak, dengan diluar Kemaliq maupun Pura Gaduh yaitu sebuah bangunan pura yang terdapat di Pura Lingsar.


Dalam pelaksanaan Upacara Pujawali dan Perang Topat ini terdapat berbagai persiapan yang dilakukan, yang juga masuk sebagian dari upacara ini secara ritual, persiapan upcara ini sudah dimulai beberapa hari sebelumnya. Sedangkan untuk memeriahkan dan menyemarakan upacara ini beberapa hari sebelum dan sesudahnya diadakan berbagai macam hiburan dan kesenian untuk rakyat.

Sebelum Perang Topat dimulai Kebon Odek dikeluarkan dari Kemaliq yang terdapat di Pura Lingsar Kecamatan Narmada yang bertujuan untuk menjemput Pesajik (sesajen) kemudian dikelilingi sebanyak 3 kali di Kemaliq lalu di upacarakan. Sesudah upacara Pujawali, dilakukan acara Perang Topat.

Bahan (ketupat) perang dibuat oleh masyarakat subak, baik diperintah maupun tidak oleh para pekasih, mereka membawa ketupat ke Kemaliq bila acara Pujawali tiba, dan dikumpulkan oleh Pekasih. Ketupat untuk perang sebelumnya ditempatkan di Kemaliq untuk turut serta di upacarakan / disucikan. Ketupat (kecil) dibuat dari janur muda serta diisi beras dan dimasak.

Perang Topat mempunyai makna :
" Permohonan kemakmuran agar mendapatkan rezeki yang berlimpah bagaikan hujan ketupat tersebut.
" Diyakini sebagai anugrah sesari yang dianggap mengandung (air kehidupan) diperebutkan oleh masyarakat yang percaya, kemudian ditaburkan diatas tanah pertanian maupun di tempat yang di jadikan sumber penghasilan.

Perang Topat dimulai pada sore hari yang istilah bahasa Sasaknya Waktu Rorok Kembang Waru (gugurnya kembang pohon waru) sekitar jam 16:00 WITA dan berakhir menjelang malam tiba.

Pada malam harinya dilanjutkan dengan pertunjukan kesenian drama gong dan berbagai jenis kesenian selama tiga hari yang diselenggarakan oleh Kerama Pura hingga berakhirnya rentetan kegiatan acara Perang Topat.

Read More......

Bau Nyale di Pantai Kuta

Setiap tanggal duapuluh bulan kesepuluh dalam penanggalan Sasak atau lima hari setelah bulan purnama, menjelang fajar di pantai Seger Kabupaten Lombok Tengah selalu berlangsung acara menarik yang dikunjungi banyak orang termasuk wisatawan. Acara yang menarik itu bernama Bau Nyale. Bau dari bahasa Sasak artinya menangkap. Sedangkan Nyale,


sejenis cacing laut yang hidup di lubang - lubang batu karang di bawah permukaan laut."Penduduk setempat mempercayai Nyale memiliki tuah yang dapat mendatangkan kesejahteraan bagi yang menghargainya dan mudarat bagi orang yang meremehkannya. Itulah yang berkembang selama ini", ujar Lalu Wirekarme, seorang tokoh masyarakat yang pernah menjabat sebagai Kepala Sub Dinas Pemasaran Dinas Pariwisata Kabupaten Lombok Tengah.
Tradisi menangkap Nyale (bahasa sasak Bau Nyale) dipercaya timbul akibat pengaruh keadaan alam dan pola kehidupan masyarakat tani yang mempunyai kepercayaan yang mendasar akan kebesaran Tuhan, menciptakan alam dengan segala isinya termasuk binatang sejenis Anelida yang disebut Nyale. Kemunculannya di pantai Lombok Selatan yang ditandai dengan keajaiban alam sebagai rahmat Tuhan atas makhluk ini.

Beberapa waktu sebelum Nyale keluar hujan turun deras dimalam hari diselingi kilat dan petir yang menggelegar disertai dengan tiupan angin yang sangat kencang. Diperkirakan pada hari keempat setelah purnama, malam menjelang Nyale hendak keluar, hujan menjadi reda, berganti dengan hujan rintik - rintik, suasana menjadi demikian tenang, pada dini hari Nyale mulai menampakkan diri bergulung - gulung bersama ombak yang gemuruh memecah pantai, dan secepat itu pula Nyale berangsur - angsur lenyap dari permukaan laut bersamaan dengan fajar menyingsing di ufuk timur.

Dalam kegiatan ini terlihat yang paling menonjol adalah fungsi solidaritas dan kebersamaan dalam kelompok masyarakat yang dapat terus dipertahankan karena ikut mendukung kelangsungan budaya tradisional.

Keajaiban Nyale bagi suku Sasak Lombok telah menimbulkan dongeng tentang kejadian yang tersebar hampir keseluruh lapisan masyarakat Lombok dan sekitarnya. Dongeng ini sangat menarik dengan cerita yang sangat romantis dan berkembang melalui penuturan orang - orang tua yang kemudian tersusun dalam naskah tentang legenda Nyale.

Menurut dongeng bahwa pada zaman dahulu di pantai selatan Pulau Lombok terdapat sebuah kerajaan yang bernama Tonjang Beru. Sekeliling di kerajaan ini dibuat ruangan - ruangan yang besar. Ruangan ini digunakan untuk pertemuan raja - raja. Negeri Tonjang Beru ini diperintah oleh raja yang terkenal akan kearifan dan kebijaksanaannya Raja itu bernama raja Tonjang Beru dengan permaisurinya Dewi Seranting.

Baginda mempunyai seorang putri, namanya Putri Mandalika. Ketika sang putri menginjak usia dewasa, amat elok parasnya. Ia sangat anggun dan cantik jelita. Matanya laksana bagaikan bintang di timur. Pipinya laksana pauh dilayang. Rambutnya bagaikan mayang terurai. Di samping anggun dan cantik ia terkenal ramah dan sopan. Tutur bahasanya lembut. Itulah yang membuat sang putri menjadi kebanggaan para rakyatnya.

Semua rakyat sangat bangga mempunyai raja yang arif dan bijaksana yang ingin membantu rakyatnya yang kesusahan. Berkat segala bantuan dari raja rakyat negeri Tonjang Beru menjadi hidup makmur, aman dan sentosa. Kecantikan dan keanggunan Putri Mandalika sangat tersohor dari ujung timur sampai ujung barat pulau Lombok. Kecantikan dan keanggunan sang putri terdengar oleh para pangeran - pangeran yang membagi habis bumi Sasak (Lombok). Masing - masing dari kerajaan Johor, Lipur, Pane, Kuripan, Daha, dan kerajaan Beru. Para pangerannya pada jatuh cintar. Mereka mabuk kepayang melihat kecantikan dan keanggunan sang putri.

Mereka saling mengadu peruntungan, siapa bisa mempersunting Putri Mandalika. Apa daya dengan sepenuh perasaan halusnya, Putri Mandalika menampik. Para pangeran jadi gigit jari. Dua pangeran amat murka menerima kenyataan itu. Mereka adalah Pangeran Datu Teruna dan Pangeran Maliawang. Masing - masing dari kerajaan Johor dan kerajaan Lipur. Datu Teruna mengutus Arya Bawal dan Arya Tebuik untuk melamar, dengan ancaman hancurnya kerajaan Tonjang Beru bila lamaran itu ditolaknya. Pangeran Maliawang mengirim Arya Bumbang dan Arya Tuna dengan hajat dan ancaman yang serupa.

Putri Mandalika tidak bergeming. Serta merta Datu Teruna melepaskan senggeger Utusaning Allah, sedang Maliawang meniup Senggeger Jaring Sutra. Keampuhan kedua senggeger ini tak kepalang tanggung dimata Putri Mandalika, wajah kedua pangeran itu muncul berbarengan. Tak bisa makan, tak bisa tidur, sang putri akhirnya kurus kering. Seisi negeri Tonjang Beru disaput duka.

Kenapa sang putri menolak lamaran? Karena ia merasa memikul tanggung jawab yang tidak kecil. Akan timbul bencana manakala sang putri menjatuhkan pilihannya pada salah seorang pangeran. Dalam semadi, sang putri mendapat wangsit agar mengundang semua pangeran dalam pertemuan pada tanggal 20 bulan 10 ( bulan Sasak ) menjelang pagi - pagi buta sebelum adzan subuh berkumandang. Mereka harus disertai oleh seluruh rakyat masing - masing. Semua para undangan diminta datang dan berkumpul di pantai Kuta. Tanpa diduga - duga enam orang para pangeran datang, dan rakyat banyak yang datang, ribuan jumlahnya. Pantai yang didatangi ini bagaikan dikerumuni semut.

Ada yang datang dua hari sebelum hari yang ditentukan oleh sang putri. Anak - anak sampai kakek - kakek pun datang memenuhi undangan sang putri ditempat itu. Rupanya mereka ingin menyaksikan bagaimana sang putri akan menentukan pilihannya. Pengunjung berduyun - duyun datang dari seluruh penjuru pulau Lombok. Merekapun berkumpul dengan hati sabar menanti kehadiran sang putri.

Betul seperti janjinya. Sang putri muncul sebelum adzan berkumandang. Persis ketika langit memerah di ufuk timur, sang putri yang cantik dan anggun ini hadir dengan diusung menggunakan usungan yang berlapiskan emas. Prajurit kerajaan berjalan di kiri, di kanan, dan di belakang sang putri. Sungguh pengawalan yang ketat. Semua undangan yang menunggu berhari - hari hanya bisa melongo kecantikan dan keanggunan sang putri. Sang putri datang dengan gaun yang sangat indah. Bahannya dari kain sutera yang sangat halus.

Tidak lama kemudian, sang putri melangkah, lalu berhenti di onggokan batu, membelakangi laut lepas. Disitu Putri Mandalika berdiri kemudian ia menoleh kepada seluruh undangannya. Sang putri berbicara singkat, tetapi isinya padat, mengumumkan keputusannya dengan suara lantang dengan berseru : "Wahai ayahanda dan ibunda serta semua pangeran dan rakyat negeri Tonjang Beru yang aku cintai. Hari ini aku telah menetapkan bahwa diriku untuk kamu semua. Aku tidak dapat memilih satu diantara pangeran. Karena ini takdir yang menghendaki agar aku menjadi Nyale yang dapat kalian nikmati bersama pada bulan dan tanggal saat munculnya Nyale di permukaan laut."

Bersamaan dan berakhirnya kata - kata tersebut para pangeran pada bingung rakyat pun ikut bingung dan bertanya - tanya memikirkan kata - kata itu. Tanpa diduga - duga sang putri mencampakkan sesuatu di atas batu dan menceburkan diri ke dalam laut yang langsung ditelan gelombang disertai dengan angin kencang, kilat dan petir yang menggelegar.

Tidak ada tanda - tanda sang putri ada di tempat itu. Pada saat mereka pada kebingungan muncullah binatang kecil yang jumlahnya sangat banyak yang kini disebut sebagai Nyale. Binatang itu berbentuk cacing laut. Dugaan mereka binatang itulah jelmaan dari sang putri. Lalu beramai - ramai mereka berlomba mengambil binatang itu sebanyak - banyaknya untuk dinikmati sebagai rasa cinta kasih dan pula sebagai santapan atau keperluan lainnya.

Itulah kisah Bau Nyale. Penangkapan Nyale menjadi tradisi turun - temurun di pulau Lombok. Pada saat acara Bau Nyale yang dilangsungkan pada masa sekarang ini, mereka sejak sore hari mereka yang akan menangkap Nyale berkumpul di pantai mengisi acara dengan peresean, membuat kemah dan mengisi acara malam dengan berbagai kesenian tradisional seperti Betandak (berbalas pantun), Bejambik (pemberian cendera mata kepada kekasih), serta Belancaran (pesiar dengan perahu). Dan tak ketinggalan pula, digelar drama kolosal Putri Mandalika di pantai Seger.

Warga masyarakat yang datang ke pantai Seger untuk ikut melaksanakan upacara Bau Nyale datang dengan menggunakan kendaraan. Nyale bagi penduduk Lombok Selatan dengan lahan persawahan tadah hujan merupakan benda rahmat Tuhan yang bisa digunakan sebagai tanda keberhasilan panen yang memuaskan

Tradisi Bau Nyale - menangkap cacing laut - sebagai bagian dari legenda Putri Mandalika di Lombok, puncaknya kali ini berlangsung subuh. Di sana, warga dari sekeliling Lombok berdatangan sejak malam sebelumnya.

Bau Nyale ada di 16 pantai yang memanjang sejauh 72 kilometer dari arah timur hingga ke barat di selatan Lombok Tengah. Utamanya dilaksanakan di pantai Seger dan sekitarnya. Pantai obyek pariwisata yang potensial di Nusa Tenggara Barat. Keindahan pantai ini membuat hati para wisatawan menjadi kagum melihat segala pemandangan alamnya. Perairan di sekitar pantai Kuta hingga pantai Tanjung Aan sangat cocok untuk berenang. Pantai ini terletak di bagian selatan pulau Lombok, kira - kira 54 kilometer tenggara kota Mataram. Suasananya tenang senyap menyambut langkah - langkah diantara pasir putih halus - bagaikan merica - yang membentang dari ujung barat ke ujung timur dengan puluhan kawasan wisata mulai dari pantai Ujung Kelor yang berbatasan dengan Lombok Timur, hingga pantai Pengantap di Lombak Barat.

Seperti biasanya, dipadati ribuan kaum muda setelah menungguinya di tengah hujan deras sepanjang malam. Mereka yang rela menahan dingin dan kantuk di Pantai Seger di Desa Kuta Kecamatan Pujut dalam kawasan PT Pengembangan Pariwisata Lombok tersebut yang datang tidak hanya dari warga desa di Kecamatan Pujut saja. Tetapi juga para muda-mudi dari Mataram dan Praya yang datang mengendarai ratusan mobil.Pantai Seger yang kini lebih dikenal dengan pantai Putri Nyale ini pun dilengkapi oleh lereng - lereng yang terjal dari bukit yang berbatasan dengan bibir pantai. Sungguh, alam mempesona. Di pantai selatan itulah hidup dan tersebar suatu legenda sehubungan dengan adanya Nyale (sejenis cacing laut) yang muncul satu kali dalam setahun.

Nyale ditangkap di beberapa tempat di pantai selatan pulau Lombok antara lain di pantai Kaliantan, Kuta, Selong Belanak, Mawun. Lokasi yang terbaik dikunjungi wisatawan adalah pantai Seger desa Kuta dengan kondisi prasarana yang cukup memadai. Nyale pada melakukan pembuahan muncul di permukaan laut yang dimulai pada waktu fajar sampai sebelum matahari terbit. Munculnya Nyale di permukaan laut pada saat menjelang fajar yang disinari oleh rembulan membawa keindahan yang menarik dan merangsang para nelayan untuk menangkap Nyale dan lama kelamaan menjadi tradisi budaya. Munculnya Nyale dipermukaan laut terjadi setiap tahun sekitar bulan Februari.

Secara ilmiah, cacing Nyale yang pernah diteliti mengandung protein hewani tinggi sekali. Pernah dijelaskan oleh penelitinya, Dr dr Soewignyo Soemohardjo, cacing Nyale ini telah diketahui mengeluarkan suatu zat yang sudah terbukti bisa membunuh kuman-kuman. Dari sebuah laporan survey aspek sosio budaya Nyale, diketahui 70,6 persen responden membuang daun bekas pembungkus Nyale ke sawah supaya hasil tanaman padi akan melimpah ruah dan memberi tahu tanaman padi bahwa nyale telah selesai ditangkap yang berarti hujan akan berhenti.

Selama ini masyarakat menjadikannya masakan pepes dikukus dibungkus daun - yang enak sekali. Masyarakat juga meyakini apabila Nyale keluar banyak menandakan pertanian berhasil. Lombok Selatan selama ini dikenal sebagai daerah kritis karena tidak adanya irigasi. Sawah di sana tadah hujan. Jadi kalau hujan banyak barangkali salinitas air memungkinkan untuk populasinya berkembang, diyakini tanaman padinya berhasil.(supriyantho khafid)


Read More......

Jejak Kemegahan Sasak

    Agregar a Del.icio.us Agregar a DiggIt! Agregar a Yahoo! Agregar a Google Agregar a Meneame Agregar a Furl Agregar a Reddit Agregar a Magnolia Agregar a Blinklist Agregar a Blogmarks


Sejarah sastra sasak, yang tertuang dalam hikayat dan lontar, memang tidak terlepas dari sejarah masyarakat di dalamnya. Masyarakat sasak nya adalah sebuah warisan dari kebudayaan yang besar.Mulai dari Kerajaan Sokong, Bayan, Selaparang, Pejangggik, di Pulau Lombok menceritakan tentang peradaban-peradaban agung negeri ini di masa lalu. Kerajaaan Sape, Bima, Dompu, Sumbawa dan Kerajaan-kerajaan di Sumbawa Barat, seluruhnya menceritakan betapa masyarakat negeri ini telah berkembang pada tingkat kebudayaan yang sangat baik pada ratusan tahun silam. Kerajaan Taliwang, Dompo, Sape, Sanghyang Api, Bima dan kerajaan Hutan, bahkan telah diperhitungkan dan terintegrasi dalam wilayah Kerajaan Majapahit.

Negeri ini telah berkembang pesat di masa lalu dalam bidang kebudayaan dan sastra. Para intelektual masyarakat Selaparang dan Pejanggik di pulau Lombok sangat mengetahui Bahasa Kawi. Bahkan kemudian dapat menciptakan sendiri aksara Sasak yang disebut sebagai Jejawen. Dengan modal Bahasa Kawi yang dikuasainya, aksara Sasak dan Bahasa Sasak, maka para pujangganya banyak mengarang, menggubah, mengadaptasi, atau menyalin bahasa Jawa kuno ke dalam lontar-lontar Sasak.

Lontar-lontar dimaksud, antara lain Kotamgama, Lapel Adam, Menak Berji, Rengganis, dan lain-lain. Bahkan para pujangga juga banyak menyalin dan mengadaptasi ajaran-ajaran sufi para Walisongo, seperti lontar-lontar yang berjudul Jatiswara, Lontar Nursada dan Lontar Nurcahya. Bahkan hikayat-hikayat Melayu pun banyak yang disalin dan diadaptasi, seperti Lontar Yusuf, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Sidik Anak Yatim, dan sebagainya.

Melalui karya-karya tersebut, jelas berbekas kemegahan dan ketangguhan masyarakat di dua pulau ini. Dan ini terbukti menjadi hambatan yang sangat besar bagi kolonialisme Belanda untuk masuk menjajah. Belanda harus menggunakan angkatan perang yang besar untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan di Lombok. Sedangkan di Pulau Sumbawa, Belanda harus berhadapan dengan perlawanan-perlawanan yang hebat dan muslihat-muslihat dari pemimpin-pemimpin lokal yang tak rela dengan segala bentuk penjajahan dan penindasan asing atas ekspansi wilayah mereka.

Memang sebelumnya terjadi Perang Undru di Taliwang Sumbawa tahun 1906, Perang Baham di Lunyuk Sumbawa tahun 1907, Perang Dena Bima tahun 1907, Perang Donggo Bima tahun 1907-1909, dan Perang Ngali Bima tahun 1908. Dan ini menjadi bukti, bahwa masyarakat NTB adalah bangsa pejuang yang dengan tangguh mempertahankan kedaulatannya.

Kemerdekaan telah menyatukan kedua pulau ini dalam satu wilayah administrasi propinsi. Bukan suatu pilihan yang tanpa dasar, masyarakat dua pulau ini telah bekerjasama dengan sangat baik juah sebelumnya. Kerajaan-kerajaan dari Sumbawa Barat telah menjalin hubungan yang sangat baik dengan pusat-pusat peradaban di pulau Lombok.

Tak sebatas hubungan pertalian darah dan berdagang, yang juga mengintegrasikan peradaban-peradaban lain di Sulawesi, Bali dan Jawa, akan tetapi juga kerjasama untuk berjuang melawan penjajahan. Sesuatu yang menghasilkan ikatan emosional yang kuat antar kedua negeri dan selanjutnya menjadi landasan yang kuat untuk mempersatukan dua pulau, dua masyarakat dalam satu wilayah provinsi. Landasan persatuan yang paling tinggi adalah kesamaan idiologi mayoritas masyarakatnya yang beragama Islam. Inilah jejak kemahsyuran, kemegahan, dan ketangguhan masyarakat berbudaya.


Read More......

Meliat masa lalu orang sasak


Lombok memang masih menjadi "laboratorium konservasi" naskah Jawa Kuna dalam perspektif Islam, sama halnya dengan masyarakat Suku Bali yang melestarikan naskah Jawa Kuna bernapaskan Hindu. Sepenggal perjalanan ini telah berhasil menemui salah seorang pelestari lontar, kelompok pembacanya dan tentunya untuk mencari tahu asal-usul lontar Lombok, yang merupakan bukti tertulis sejarah panjang Lombok dan kehadiran Islam di sana.

HAJI Lalu Ambawa (70) tampak meringis ketika dijumpai di rumahnya,
Desa Penujak, Lombok Tengah, NTB. "Maafkan, sakit gigi saya lagi
kambuh," tuturnya. Suaranya hampir tidak terdengar, namun semangat
bicara pensiunan guru sekolah dasar ini bangkit saat ditanya soal
naskah lontar.

Dia bergegas masuk kamar dan membawa Lontar (Takepan) Asmaragama, dan
membongkar tumpukan buku di atas meja di hadapannya. Dia menunjuk buku
berjudul Sembaga Sejarah Agama Budaya, yang hampir tiap lembarnya
bergambar tokoh wayang Sasak. Buku dari kertas folio itu dilengkapi
daftar isi: Al Qur'annulkarim, Berita Alam Gaib, Babat Purwa Gama,
Wekasan Bape dan Wasiat Ayahku.

Buku itu terdiri dari 17 tembang dan 332 bait. Isinya merupakan
intisari Takepan Puspakarma, Asmaragama yang dikaitkan dengan ajaran
Islam yang terkandung dalam Al-Quran dan Hadist Nabi Muhammad SAW.
Karya ini berkali-kali difotokopi anggota pepaosan (kelompok pembaca
naskah lontar) di desa setempat dan desa tetangganya.
AMBAWA bisa dikatakan satu dari sekian banyak pelestari lontar di
Lombok. Tidak terhitung banyaknya lontar yang sudah dibacanya,
dihayati isinya dan disalin intisarinya ke kertas dengan aksara
Jejawan, turunan aksara Jawa Hanacaraka. Kiprah Ambawa ini mungkin
mewakili pendapat yang menyatakan Lombok adalah "laboratorium
konservasi" naskah Jawa Kuna dalam perspektif Islam. Ini sama halnya
dengan masyarakat Suku Bali yang melestarikan naskah Jawa Kuna
bernapaskan Hindu, kata drs Nyoman Argawa, sarjana filologi dan
karyawan Museum Negeri Nusa Tenggara Barat (NTB).

Argawa menunjuk hasil pendataan Museum Negeri NTB bersama Ford
Foundation tahun 1993. Sedikitnya 632 naskah disimpan penduduk. Jumah
ini lebih banyak dari pendataan Schreuder, Asisten Residen Lombok pada
tahun 1928, yaitu sebanyak 556 naskah. Pendataan 1993 itu baru
dilakukan di lima desa dari empat kecamatan yaitu Kecamatan Gangga,
Kodya Mataram, Labuapi (Lombok Barat), Pujut (Lombok Tengah) dan Sakra
(Lombok Timur). Dari pendataan itu ternyata rata-rata 20 naskah
ditemukan di tiap desa.

Jika di Pulau Lombok, minus Kodya Mataram, terdapat 271 desa, maka -
dengan asumsi 20 naskah/desa - diperkirakan masih ada 6.773 naskah
milik pribadi masyarakat. Ini belum termasuk koleksi Museum Negeri NTB
hingga Desember 1995 sebanyak 1.275 buah.

Buku Aneka Sari susunan I Nengah Tinggen, pemerhati lontar, menyebut
sedikitnya 386 naskah Sasak dikoleksi Balai Kirtya Singaraja, Bali.
Jumlah ini di luar koleksi museum di London Inggris. Zoetmoelder pun
mengakui Lombok sebagai sumber naskah terbesar bagi Perpustakaan
Universitas Negeri Leiden Belanda
GAMBARAN dalam angka itu kecuali menunjukkan betapa banyaknya lontar
yang ada di Lombok, juga mengundang pertanyaan: kapan masyarakat
Lombok mengenal tulisan, mengapa lontar disadur maupun
ditransliterasikan, bagaimana persepsi masyarakat Lombok pada isi
lontar, bagaimana perhatian pemerintah terhadap pelestarian aksara
Jejawan sekaligus tradisi pepaosan.

Ada yang mengatakan tradisi sastra dan tulis-menulis dimulai di Lombok
bersamaan dengan lahirnya Prasasti/Bencangah Punan yang ditulis
menggunakan aksara Jejawan yang menceritakan kedatangan Gajah Mada ke
Lombok tahun 1357.

Isyarat lain terdapat pada tulisan Makam Raja Selaparang di Lombok
yang oleh Sutterheim diidentifikasi memakai aksara Jawa Kuno. Candra
Sangkala pada makam itu berbunyi memesan gagaweyan para yuga, yaitu
1142 Hijriah atau 1729 Masehi. Angka tahun ini dihubungkan dengan
kematian seorang Raja Selaparang di Lombok.

Ada pula yang menduga tradisi itu bermula pada abad ke-16, saat Sunan
Prapen (putra Sunan Giri) menyiarkan Islam di Lombok. Alasannya, karya
sastra Jawa yang disalin sastrawan Sasak seperti Jatiswara,
Purwadaksina, Rengganis dan lainnya, umumnya bernapaskan Islam. Bahkan
Purbatjaraka dalam bukunya Kepustakaan Jawi menyatakan, Serat Menak
yang tersebar di Lombok termasuk tua dan menggunakan Bahasa Jawa Kuna.

Benar-kelirunya perkiraan ini masih perlu pembuktian. Yang jelas
dikenalnya aksara Jejawan, dan eksodus orang Bali yang menjadikan
Lombok koloni Karang Asem (1740-1894), menumbuhkan minat menulis di
Lombok. Dan lahirlah sastrawan dan "pujangga" yang karyanya masih
terlihat sampai sekarang. Bahkan hal itu berpengaruh besar dalam
kebudayaan Sasak sendiri.

Katakanlah seni pewayangan dan kelompok pepaosan yang sumber
tuturannya dari lontar, yaitu Serat Menak. Demikian pula adat istiadat
perkawinan sorong serah atau nyongkol (keluarga pengantin pria
mengunjungi keluarga pengantin putri). Dalam prosesi adat ini para
pembayun (pimpinan kubu pria-wanita) berdialog dalam bahasa Kawi yang
digunakan pada naskah daun til itu.

Lebih dari itu, lontar merupakan sumber referensi bagi para mubalig
dan kiai melaksanakan dakwah, sekaligus sebagai media komunikasi
antarumat Islam, karena isi lontar mengandung nilai muamalah dan
keagamaan lainnya.

Disadari atau tidak, bukti itu menepis sementara anggapan bahwa lontar
"dekat" dengan perbuatan syirik, bid'ah dan sebangsanya. Penekun
lontar Ambawa menunjuk koleksinya: Lontar Asmaragama yang di dalamnya
terangkum ajaran Tri Sipta Raharja Dumadi, tiga sistem membina hidup
sejahtera yaitu pendidikan rumah tangga (warga), pendidikan formal dan
pendidikan lingkungan/masyarakat. Ajaran ini bukan saja tesirat dan
tersurat dalam Al-Quran, tapi juga menjadi dasar kebijakan pemerintah
dalam pendidikan nasional.

Dikatakan pula, syiar Islam awalnya disampaikan secara lisan, lalu
sejalan dengan perkembangan zaman, syiar disampaikan lewat tulisan
dalam bentuk hikayat, sejarah, syair dan karya sastra lainnya. Keadaan
itu betapa pun merangsang orang belajar baca tulis.

"Bila dikatakan syirik, bid'ah dan sebangsanya, itu lebih dikarenakan
orang bersangkutan keliru menafsirkan makna isi naskah," kata Amak
Iduk, warga Lingkungan Bendega, Kodya Mataram. Buruh serabutan ini,
mengaku pernah memiliki lontar Ana Kidung. Naskah berisi falsafah
ketuhanan ini, panjangnya kurang sejengkal tangan orang dewasa dan
oleh sementara kalangan digunakan untuk azimat. "Itulah sebabnya, saya
menyalinnya, agar orang tidak salah mengartikan pesan tersurat maupun
tersirat isi lontar," ucap Ambawa seraya menunjuk buku karyanya tadi.

Tampaknya pendapat Ambawa senada dengan TD Sudjana, pemerhati budaya
Cirebon, dalam seminar nasional Hanacaraka, menyambut Dasawarsa
Lembaga Javanologi, medio April 1994, di Yogyakarta. Dikatakan aksara
Jawa yang berjumlah 20 itu, merupakan perlambang sifat Tuhan yang
disebut "Sifat 20". Penegasan itu dikutipnya tahun 1988 dari Pangeran
Sulaiman Sulendraningrat, ahli tarekat Satariah Muhammadiyah, di
Kaprabonan Cirebon.

SEPERTI sudah disinggung di atas, dikenalnya budaya tulis tampaknya
sangat mewarnai kebudayaan Sasak. Hal ini bisa disaksikan dari naskah
yang ditemukan maupun yang disimpan pemiliknya di Lombok. Berdasarkan
aksara dan bahasanya naskah-naskah itu bisa dipilah menjadi naskah
Sasak-Lombok, Bali-Lombok dan Melayu-Lombok. Naskah yang ditulis
sastrawan Lombok umumnya beraksara Jejawan atau Arab Melayu dan
berbahasa Sasak, Jawa Madya (Kawi) dan Bahasa Sasak reramputan
(campuran bahasa Sasak, Bali, Jawa, Melayu).

Kecuali itu ada pula Lontar Sasak yang ide dan isi ceritanya
diciptakan pengarang Sasak: Lontar Monyeh, Subandar, Doyan Neda, Babat
(sejarah) Sakra dan lainnya, di samping naskah gubahan daerah lain
macam Lontar Rengganis (Jawa Madya), Lontar Sidik Anak Yatim (Melayu),
serta naskah adaptasi yang umumnya berasal dari Jawa Timur bagian
utara, umpamanya Lontar Yusuf, Tapel Adam, Ana Kidung dan lainnya.

Naskah Sasak berbentuk macapat (puisi) dan gancaran (prosa) itu
diungkapkan lewat tembang (dilagukan) dengan irama durma, sinom,
smarandhana, pangkur, dangdang dan maskumambang, serta disampaikan
secara kelompok yang masing-masing bertugas sebagai pemaca (pembaca),
pujangga (penerjemah, pengulas, penafsir) dan beberapa penyokong
(pendukung vokal). (Baca juga tulisan Cepung dan Lontar Monyeh di
halaman 19).

Penduduk suku Sasak juga mengenal pembacaan hikayat (bekayat) dan
nyaer (syair) - semacam tradisi membaca di daerah Melayu - seperti
Hikayat Nabi (Qisasul Anbiya), Ali Hanafiah, Qamaruzzaman, Siti
Zubaidah dan Saer Kubur. Ini dibaca untuk memeriahkan Maulid Nabi
Muhammad SAW atau acara ngurisang (potong rambut bayi) dan khitanan.
Sedang pembacaan lontar biasanya berlangsung pada acara adat istiadat
perkawinan atau selamatan panen padi (Lontar Joarsah).

Pada komunitas tertentu - lebih karena sugesti - pembacaan naskah
dimaksudkan juga untuk pengobatan anak yang belum bisa berjalan
(Lontar Kawitan Selandir), anak sulit bicara (Lontar Indarjaya), dan
anak "dungu" (Indrabangsawan-Jawi). Bagi ibu yang tidak segera menjadi
hamil dibacakan bait tertentu naskah Puspakarma, lalu lontar dibasahi
air yang kemudian diminum ibu bersangkutan

KEJAYAAN tradisi penulisan dan sastra di bumi Lombok berlangsung
semasa penjajahan Belanda dengan diajarkannya aksara Jejawan di
sekolah dasar. Sebagai pedoman pengajaran adalah buku Galang Bulan
berbahasa Sasak yang disusun Waloeja (1934), menyusul buku Aksara
Anacaraka Siq Bekadu Leq Gumi Sasak, artinya Aksara Anacaraka yang
digunakan di Bumi Sasak (baca Lombok), yang disusun Laloe Mesir
(1930). Kedua buku diterbitkan Landsdrukkerij di Batavia (Jakarta).

Ketika itu, kemampuan baca-tulis Jejawan adalah "ladang" mendapatkan
uang rokok, mengingat aksara ini dipakai untuk perjanjian jual-beli,
surat dan pemilikan hak atas tanah. "Saya sering buatkan teman-teman
surat cinta," tutur Lalu Sjafii, pemuka adat warga Dusun Renggung,
Desa Kopang, Lombok Tengah.

Terjadinya pergolakan politik ditambah perubahan kurikulum,
menyebabkan sejak tahun 1960 pengajaran aksara dan bahasa daerah
Lombok praktis tidak ada lagi. Akibatnya, satu generasi Sasak yang
kini berusia 30-40 tahun buta aksara Jejawan.

Toh kondisi itu tidak menyurutkan semangat para sastrawan Sasak di
pedesaan untuk menyalin bait lontar dan diikuti tumbuhnya kelompok
pepaosan yang nyaris selalu meramaikan acara hajatan, selamatan desa
dan adat istiadat perkawinan lainnya.

Mawardi, warga Dusun Tenang, Desa Sengkol, Kecamatan Pujut, Lombok
Tengah, melakukan hal sama. "Bila ada yang senang, buku itu diambil,
sehingga saya harus menyalin terus," katanya.

Demikian pula Amak Marendah, penduduk Dusun Tarong-arong, Desa
Teruwai, Lombok Tengah. Marendah tidak hapal jumlah naskah yang
disalin ke daun lontar. Terkadang pembelinya memberi Amak Marendah
menggarap sawah untuk beberapa kali musim tanam sebagai pembayaran
lontar yang disalinnya.

Sedang Amak Junep, warga Desa Embungtiang, Kecamatan Sakra, Lombok
Timur, malah mengembangkan isi Babat Sakra, sejak pemerintahan
Belanda, Jepang, NICA, masa kepemimpinan Presiden Soekarno dan
Soeharto sampai soal tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal asal desa
itu. Dia juga menyalin Cerita Buyung Permai, bacaan untuk siswa SD,
dari aksara latin ke aksara Jejawan.

KEPEDULIAN pemerintah terhadap masa depan aksara dan lontar Sasak ini
membesarkan hati. Sebutlah Museum Negeri NTB sejak tahun 1989
memprakarsai Lomba Membaca Lontar yang kini menjadi mata lomba dalam
Bulan Apresiasi Budaya (BAB) NTB tiap tahun.

Kegiatan ini membuktikan seni baca lontar masih memiliki pendukung,
meski jumlahnya relatif kecil. Hal ini bisa dilihat dari peserta
kelompok pepaosan yang mengikuti lomba membaca lontar. Tahun 1990
lomba itu diikuti 16 grup dengan peserta usia 40 tahun, dan Agustus
1996 tercatat 34 grup dengan peserta kalangan remaja dan orang tua.

Pentingnya warisan budaya ini dilestarikan, mendorong Presiden
Soeharto menyumbang beberapa unit komputer beraksara Jejawan bernilai
Rp 1 milyar. Belakangan peralatan itu belum bisa dimanfaatkan optimal,
mengingat terbatasnya kalangan yang mengerti dan menulis aksara
Jejawan.

Memang mulai tahun ajaran 1994/95 aksara Jejawan diajarkan sebagai
muatan lokal di SD (kelas III sampai kelas VI) di Lombok. Upaya ini
kecuali mendekatkan generasi muda pada naskah, juga membuka peluang
menelusuri jejak masa lalu Lombok yang selama ini masih samar-samar.

Apalagi dewasa ini banyak naskah berpindah tangan dari pemilik kios
cenderamata yang memotong naskah dari satu menjadi beberapa bagian
lantas dijual sebagai cenderamata pada wisatawan. Kondisi ini bisa
membuat generasi Sasak masa depan kehilangan sumber sejarah.

Mungkin terlalu dini mengharapkan banyak hal dari pengajaran aksara
Jejawan di sekolah, karena sifat pengajarannya baru sampai pada tahap
pengenalan awal. Untuk jangka panjang perlu dipikirkan berdirinya
lembaga khusus yang mengkaji, meneliti pernaskahan, seperti halnya
Balai Kirtya di Singaraja Bali.

Upaya itu bisa dimulai dari perguruan tinggi yang membuka
jurusan/bidang studi fakultas sastra daerah. Tanpa tersedianya media
kajian dan penelitian, jangan-jangan upaya menyambung benang merah
kebudayaan Lombok putus di paruh perjalanan, karena apa yang diperbuat
Mawardi, Amak Marendah, Amak Junep dll sudah merupakan sumbangan luar
biasa buat budaya tulis dan pengarsipan, tiang utama kesinambungan
kebudayaan seperti terlihat dengan gamblang pada semua bangsa besar.
Dan karena kebudayaan bukanlah sesuatu yang tetap, maka pengkajian dan
pengembangannya menjadi tanggung jawab masyarakat kini.

Read More......

PERESEAN(Olah Raga Tradisioanal Lombok NTB)

Menjelang tujuh belasan biasanya banyak acara2 agustusan digelar buat meriahkan B’Day kemerdekaan. Acara yang paling aku tunggu2 adalah Tarung Peresean, biasanya tarung ini pastilah helatan pemerintah karena acara ini melibatkan petarung2 dari berbagai desa. Peresean adalah pertarungan antara dua orang yang bersenjatakan alat pemukul (sebilah tongkat) dari rotan (penjalin) dengan tameng dari bahan kulit sapi/kerbau.

Peresean juga bagian dari upacara adat di pulau Lombok dan termasuk dalam seni tarian suku sasak. Seni peresean ini menunjukkan keberanian dan ketangkasan seorang petarung (pepadu), kesenian ini dilatar belakangi oleh pelampiasan rasa emosional para raja dimasa lampau ketika mendapat kemenangan dalam perang tanding melawan musuh-musuh kerajaan, disamping itu para pepadu pada peresean ini mereka menguji keberanian, ketangkasan dan ketangguhan dalam bertanding. Yang unik dalam pertarungan ini adalah pesertanya tidak dipersiapkan sebelumnya alias para petarung diambil dari penonton sendiri, artinya penonton saling tantang antar penonton sendiri dan salah satu pemain akan kalah jika kepala atau anggota badan sudah berdarah2…

Masing-masing pepadu/pemain yang akan bertanding membawa sebuah perisai (ende) dengan alat pemukul yang terbuat dari sebilah rotan, dalam pertanding ini dipimpin oleh seorang wasit (pekembar). Wasit ini ada dua macam, yakni wasit pinggir dan wasit tengah. Wasit pinggir (pekembar sedi) yang mencari pasangan pemain dari penonton yang akan bertarung, sedangkan wasit tengah (pekembar tengaq) yang akan memimpin pertandingan. Pada umumnya para pepadu yang bertarung oleh pekembar mempunyai awiq-awiq dengan menggunakan sistem ronde atau tarungan, masing-masing pasangan bertarung selama lima ronde, yang akhir ronde / tarungan tersebut ditandai dengan suara pluit yang ditiup oleh pekembar tengaq (yang memimpin pertandingan). Aturan yang dipakai adalah pemain tidak boleh memukul badan bagian bawah (kaki/paha) tetapi hanya diperbolehkan memukul tubuh bagian atas (kepala, pundak, punggung). Jika salah satu pepadu bisa memukul kepala maka skor yang didapet pasti tinggi, palagi kepala lawan sampe bocor….weeewww … Peresean ini disamping tongkat pemukul dari rotan yang digunakan oleh masing-masing pepadu, juga ada musik pengiring yang akan memberikan semangat kedua petarung sekaligus sebagai pengiring kedua petarung untuk menari. Lho kok menari..?? Iya menari, itu merupakan jeda istirahat sejenak sebelum melanjutkan pertarungan sekalian sebagai ajang adu gertakan (psywar) bagi lawan. Jadi sehabis pertarungan sengit wasit biasanya menghentikan sejenak pertarungan, nah disanalah kedua petarung menari sambil mempelajari lagi kekuatan lawan. Alat-alat musik yang digunakan sebagai pengiring terdiri dari gong, sepasang kendang, rincik/simbal, kajar serta suling

Peresean sering juga ditampilkan menyambut tamu-tamu atau wisatawan mancanegara yang datang berkunjung ke Lombok, dan mereka menilai permainan dan atraksi itu cukup unik karena kedua petarung saling pukul dengan rotan yang mengakibatkan kepala dan badannya terluka parah, namun selesai pertandingan mereka saling berpelukan seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa, atau dengan kata lain tidak ada dendam.



Read More......

Rumah Adat Sasak (Lombok, Nusa Tenggara Barat)

1. Asal-Usul

Suku Sasak adalah penduduk asli dan suku mayoritas di Lombok, Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Sebagai penduduk asli, suku Sasak telah mempunyai sistem budaya sebagaimana terekam dalam kitab Nagara Kartha Gama karangan Empu Nala dari Majapahit. Dalam kitab tersebut, suku Sasak disebut “Lomboq Mirah Sak-Sak Adhi.” Jika saat kitab tersebut dikarang suku Sasak telah mempunyai sistem budaya yang mapan,

maka kemampuannya untuk tetap eksis sampai saat ini merupakan salah satu bukti bahwa suku ini mampu menjaga dan melestarikan tradisinya. Salah satu bentuk dari bukti kebudayaan Sasak adalah bentuk bangunan rumah adatnya.

Rumah mempunyai posisi penting dalam kehidupan manusia, yaitu sebagai tempat individu dan keluarganya berlindung secara jasmani dan memenuhi kebutuhan spiritualnya. Oleh karena itulah, jika kita memperhatikan bangunan rumah adat secara seksama, maka kita akan menemukan bahwa rumah adat dibangun berdasarkan nilai estetika dan local wisdom masyarakatnya, seperti halnya rumah tradisional suku Sasak di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Orang Sasak mengenal beberapa jenis bangunan adat yang dijadikan sebagai tempat tinggal dan juga tempat penyelenggaraan ritual adat dan ritual keagamaan.

Rumah adat suku Sasak di Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Atap rumah Sasak terbuat dari jerami dan berdinding anyaman bambu (bedek). Lantainya dibuat dari tanah liat yang dicampur dengan kotoran kerbau dan abu jerami. Campuran tanah liat dan kotoran kerbau membuat lantai tanah mengeras, sekeras semen. Pengetahuan membuat lantai dengan cara tersebut diwarisi dari nenek moyang mereka.

Seluruh bahan bangunan (seperti kayu dan bambu) untuk membuat rumah adat Sasak didapatkan dari lingkungan sekitar mereka, bahkan untuk menyambung bagian-bagian kayu tersebut, mereka menggunakan paku yang terbuat dari bambu. Rumah adat suku Sasak hanya memiliki satu pintu berukuran sempit dan rendah, dan tidak memiliki jendela.

Dalam masyarakat Sasak, rumah berada dalam dimensi sakral (suci) dan profan duniawi) secara bersamaan. Artinya, rumah adat Sasak disamping sebagai tempat berlindung dan berkumpulnya anggota keluarga juga menjadi tempat dilaksanakannya ritual-ritual sakral yang merupakan manifestasi dari keyakinan kepada Tuhan, arwah nenek moyang (papuk baluk), epen bale (penunggu rumah), dan sebaginya.

Perubahan pengetahuan masyarakat, bertambahnya jumlah penghuni dan berubahnya faktor-faktor eksternal lainya (seperti faktor keamanan, geografis, dan topografis) menyebabkan perubahan terhadap fungsi dan bentuk fisik rumah adat. Hanya saja, konsep pembangunannya seperti arsitektur, tata ruang, dan polanya tetap menampilkan karakteristik tradisionalnya yang dilandasi oleh nilai-nilai filosofis yang ditransmisikan secara turun temurun.

Untuk menjaga lestarinya rumah adat mereka dari gilasan arsitektur modern, para orang tua biasanya mengatakan kepada anak-anaknya yang hendak membangun rumah dengan ungkapan: “Kalau mau tetap tinggal di sini, buatlah rumah seperti model dan bahan bangunan yang sudah ada. Kalau ingin membangun rumah permanen seperti rumah-rumah di kampung-kampung lain pada umumnya, silakan keluar dari kampung ini.” Demikianlah cara orang Sasak menjaga eksistensi rumah adat mereka, yaitu dengan cara melembagakan dan mentransmisikan pengetahuan dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

2. Peralatan, Waktu dan Pemilihan Tempat

a. Peralatan untuk Membangun Rumah

Peralatan yang harus dipersiapkan untuk membangun rumah, diantaranya adalah:

Kayu-kayu penyangga.

Bambu.

Bedek, anyaman dari bambu untuk dinding.

Jerami dan alang-alang, digunakan untuk membuat atap.

Kotaran kerbau atau kuda, sebagai bahan campuran untuk mengeraskan lantai.

Getah pohon kayu banten dan bajur.

Abu jerami, digunakan sebagai bahan campuran untuk mengeraskan lantai.

b. Waktu Pembangunan Rumah

Rumah mempunyai fungsi penting dalam kehidupan masyarakat Sasak, oleh karena itu perlu perhitungan yang cermat tentang waktu, hari, tanggal dan bulan yang baik untuk memulai pembangunannya. Untuk mencari waktu yang tepat, mereka berpedoman pada papan warige yang berasal dari Primbon Tapel Adam dan Tajul Muluq. Oleh karena tidak semua orang mempunyai kemampuan untuk menentukan hari baik, biasanya orang yang hendak membangun rumah bertanya kepada pemimpin adat.

Orang Sasak di Lombok meyakini bahwa waktu yang baik untuk memulai membangun rumah adalah pada bulan ketiga dan bulan kedua belas penanggalan Sasak, yaitu bulan Rabiul Awal dan bulan Zulhijjah pada kalender Islam. Ada juga yang menentukan hari baik berdasarkan nama orang yang akan membangun rumah. Sedangkan bulan yang paling dihindari (pantangan) untuk membangun rumah adalah pada bulan Muharram dan bulan Ramadlan. Pada kedua bulan ini, menurut kepercayaan masyarakat setempat, rumah yang dibangun cenderung mengundang malapetaka, seperti penyakit, kebakaran, sulit rizqi, dan sebagainya.

c. Pemilihan Tempat

Selain persoalan waktu baik untuk memulai pembangunan, orang Sasak juga selektif dalam menentukan lokasi tempat pendirian rumah. Mereka meyakini bahwa lokasi yang tidak tepat dapat berakibat kurang baik kepada yang menempatinya. Misalnya, mereka tidak akan membangun tumah di atas bekas perapian, bekas tempat pembuangan sampah, bekas sumur, dan pada posisi jalan tusuk sate atau susur gubug. Selain itu, orang Sasak tidak akan membangun rumah berlawanan arah dan ukurannya berbeda dengan rumah yang lebih dahulu ada. Menurut mereka, melanggar konsep tersebut merupakan perbuatan melawan tabu (maliq-lenget).

3. Bangunan Rumah Adat Suku Sasak

Rumah adat Sasak pada bagian atapnya berbentuk seperti gunungan, menukik ke bawah dengan jarak sekitar 1,5 sampai 2 meter dari permukaan tanah (fondasi). Atap dan bubungannya (bungus) terbuat dari alang-alang, dindingnya dari anyaman bambu (bedek), hanya mempunyai satu berukuran kecil dan tidak ada jendelanya. Ruangannya (rong) dibagi menjadi inan bale (ruang induk) meliputi bale luar (ruang tidur) dan bale dalem berupa tempat menyimpan harta benda, ruang ibu melahirkan sekaligus ruang disemayamkannya jenazah sebelum dimakamkan.

Ruangan bale dalem dilengkapi amben, dapur, dan sempare (tempat menyimpan makanan dan peralatan rumah tangga lainnya) terbuat dari bambu ukuran 2 x 2 meter persegi atau bisa empat persegi panjang. Kemudian ada sesangkok (ruang tamu) dan pintu masuk dengan sistem sorong (geser). Di antara bale luar dan bale dalem ada pintu dan tangga (tiga anak tangga) dan lantainya berupa campuran tanah dengan kotoran kerbau/kuda, getah, dan abu jerami.

Undak-undak (tangga),
digunakan sebagai penghubung
antara bale luar dan bale dalem.

Hal lain yang cukup menarik diperhatikan dari rumah adat Sasak adalah pola pembangunannya. Dalam membangun rumah, orang Sasak menyesuaikan dengan kebutuhan keluarga maupun kelompoknya. Artinya, pembangunan tidak semata-mata untuk mememenuhi kebutuhan keluarga tetapi juga kebutuhan kelompok. Karena konsep itulah, maka komplek perumahan adat Sasak tampak teratur seperti menggambarkan kehidupan harmoni penduduk setempat.

Bangunan rumah dalam komplek perumahan Sasak terdiri dari beberapa macam, diantaranya adalah: Bale Tani, Bale Jajar, Berugaq/Sekepat, Sekenam, Bale Bonter, Bale Beleq Bencingah, dan Bale Tajuk. Nama bangunan tersebut disesuaikan dengan fungsi dari masing-masing tempat.

a. Bale Tani

Bale Tani adalah bangunan rumah untuk tempat tinggal masyarakat Sasak yang berprofesi sebagai petani. Bale Tani berlantaikan tanah dan terdiri dari beberapa ruangan, yaitu: satu ruang untuk serambi (sesangkok) dan satu ruang untuk kamar (dalem bale). Walaupun dalem bale merupakan ruangan untuk tempat tidur, tetapi kamar tersebut tidak digunakan sebagai tempat tidur. Dalem bale digunakan sebagai tempat menyimpan barang (harta benda) yang dimilikinya atau tempat tidur anak perempuannya, sedangkan anggota keluarga yang lain tidur di serambi. Untuk keperluan memasak (dapur), keluarga Sasak membuat tempat khusus yang disebut pawon.

Fondasi bale tani terbuat dari tanah, Design atapnya dengan sistem jurai yang terbuat dari alang-alang di mana ujung atap bagian serambi (sesangkok) sangat rendah, tingginya sekitar kening orang dewasa. Dinding rumah bale tani pada bagian dalem bale terbuat dari bedek, sedangkan pada sesangkok tidak menggunakan dinding. Posisi dalem bale lebih tinggi dari pada sesangkok oleh karena itu untuk masuk dalem bale dibuatkan tangga (undak-undak) yang biasanya dibuat tiga trap dengan pintu yang dinamakan lawang kuri.

b. Bale Jajar

Bale jajar merupakan bangunan rumah tinggal orang Sasak golongan ekonomi menengah ke atas. Bentuk bale jajar hampir sama dengan bale tani, yang membedakan adalah jumlah dalem balenya. Bale jajar mempunyai dua kamar (dalem bale) dan satu serambi (sesangkok), kedua kamar tersebut dipisah oleh lorong/koridor dari sesangkok menuju dapur di bagian belakang. Ukuran kedua dalem bale tersebut tidak sama, posisi tangga/pintu koridornya terletak pada sepertiga dari panjang bangunan bale jajar.

Bahan yang dibutuhkan untuk membuat bale jajar adalah tiang kayu, dinding bedek dan alang-alang untuk membuat atap. Penggunaan alang-alang, saat ini, sudah mulai diganti dengan menggunakan genteng tetapi dengan tidak merubah tata ruang dan ornamennya. Bangunan bale jajar biasanya berada dikomplek pemukiman yang luas dan ditandai oleh keberadaan sambi yang menjulang tinggi sebagai tempat penyimpanan kebutuhan rumah tangga atau keluarga lainnya. Bagian depan bale jajar ini bertengger sebuah bangunan kecil (disebut berugaq atau sekepat) dan pada bagian belakangnya terdapat sebuah bangunan yang dinamakan sekenam, bangunan seperti berugaq dengan tiang berjumlah enam.

c. Berugaq / Sekepat

Berugaq/sekepat mempunyai bentuk segi empat sama sisi (bujur sangkar) tanpa dinding, penyangganya terbuat dari kayu, bambu dan alang-alang sebagai atapnya. Berugaq atau sekepat biasanya terdapat di depan samping kiri atau kanan bale jajar atau bale tani. Berugaq/sekepat ini didirikan setelah dibuatkan pondasi terlebih dahulu kemudian didirikan tiangnya. Di antara keempat tiang tersebut, dibuat lantai dari papan kayu atau bilah bambu yang dianyam dengan tali pintal (Peppit) dengan ketinggian 40–50 cm di atas permukaan tanah.

Fungsi dan kegunaan berugaq/sekepat adalah sebagai tempat menerima tamu, karena menurut kebiasaan orang Sasak, tidak semua orang boleh masuk rumah. Berugaq/sekepat juga digunakan pemilik rumah yang memiliki gadis untuk menerima pemuda yang datang midang (melamar).

d. Sekenam

Sekenam bentuknya sama dengan berugaq/sekepat, hanya saja sekenam mempunyai mempunyai tiang sebanyak enam buah dan berada di bagian belakang rumah. Sekenam biasanya digunakan sebagai tempat kegiatan belajar mengajar tata krama, penanaman nilai-nilai budaya dan sebagai tempat pertemuan internal keluarga.

e. Bale Bonter

Bale bonter merupakan bangunan tradisional Sasak yang umumnya dimiliki oleh para perkanggo/Pejabat Desa, Dusun/kampong. Bale bonter biasanya dibangun di tengah-tengah pemukiman dan atau di pusat pemerintahan Desa/kampung. Bale bonter dipergunakan sebagai temopat pesangkepan/persidangan adat, seperti: tempat penyelesaian masalah pelanggaran hukum adat, dan sebagainya.

Bale bonter juga disebut gedeng pengukuhan dan tempat menyimpanan benda-benda bersejarah atau pusaka warisan keluarga. Bale bonter berbentuk segi empat bujur sangkar, memiliki tiang paling sedikit 9 buah dan paling banyak 18 buah. Bangunan ini dikelilingi dinding bedek sehingga jika masuk ke dalamnya seperti aula, atapnya tidak memakai nock/sun, hanya pada puncak atapnya menggunakan tutup berbentuk kopyah berwarna hitam.

f. Bale Beleq Bencingah

Bale beleq adalah salah satu sarana penting bagi sebuah Kerajaan. Bale beleq diperuntukkan sebagai tempat kegiatan besar Kerajaan sehingga sering juga disebut “Bencingah.” Adapun upacara kerajaan yang biasa dilakukan di bale beleq diantaranya adalah:

Pelantikan pejabat kerajaan

Penobatan Putra Mahkota Kerajaan

Pengukuhan/penobatan para Kiai Penghulu (Pendita) Kerajaan

Sebagai tempat penyimpanan benda-benda Pusaka Kerajaan seperti persenjataan dan benda pusaka lainnya seperti pustaka/dokumen-dokumen Kerajaan

Dan sebagainya.

g. Bale Tajuk

Bale tajuk merupakan salah satu sarana pendukung bagi bangunan rumah tinggal yang memiliki keluarga besar. Bale tajuk berbentuk segi lima dengan tiang berjumlah lima buah dan biasanya berada di tengah lingkungan keluarga Santana. Tempat ini dipergunakan sebagai tempat pertemuan keluarga besar dan pelatihan macapat takepan, untuk menambah wawasan dan tata krama.

h. Bale Gunung Rate dan Bale Balaq

Selain jenis bangunan yang telah disebut di atas, adapula jenis bangunan lain yang dibangun berdasarkan kondisi-kondisi khusus, seperti bale gunung rate dan bale balaq. Bale gunung rate biasanya dibangun oleh masyarakat yang tinggal di lereng pegunungan, sedangkan bale balaq dibangun dengan tujuan untuk menghindari bencana banjir, oleh karena itu biasanya berbentuk rumah panggung.

4. Bangunan Pendukung

Selain bangunan-bangunan yang telah disebut di atas, masyarakat sasak membuat bangunan-bangunan pendukung lainnya seperti: sambi, alang, dan lombung.

a. Sambi

Sambi merupakan tempat menyimpan hasil pertanian masyarakat. Ada beberapa macam bentuk sambi, antara lain sambi sejenis lumbung berbentuk rumah panggung. Bagian atas sambi ini dipergunakan sebagai tempat menyimpan hasil pertanian, sedangkan bagian bawahnya dipergunakan sebagai tempat tidur atau tempat menerima tamu. Ada juga sambi yang atapnya diperlebar sehingga pada bagian bawahnya dapat digunakan sebagai tempat menumbuk padi (lilih) dan juga tempat duduk-duduk, berupa bale-bale yang alas duduknya dibuat dari bilah bambu dan papan kayu.

Pada umumnya, sambi mempunyai empat, enam atau delapan tiang kayu. Sambi dengan enam tiang seringkali disebut ayung, karena pada bagian atasnya sering digunakan untuk tempat tidur. Bangunan sambi yang bertiang delapan terkadang disebut sambi jajar karena berbentuk memanjang. Semua sambi selalu dilengkapi dengan tangga untuk naik dan didalamnya juga memiliki tangga untuk turun ke dalam.

b. Alang

Alang sama dengan lumbung, berfungsi untuk menyimpan hasil pertanian. Hanya saja alang mempunyai bentuk yang khas, yaitu beratapkan alang-alang dengan lengkungan kira-kira ¾ lingkaran namun lonjong dan ujungnya tajam ke atas. Konstruksi bawahnya menggunakan empat tiang yang ujung tiang bagian atasnya dipadu dengan jelepeng (diikat menjadi satu). Bagian bawah bangunan alang biasanya digunakan sebagai tempat beristirahat baik siang atau malam hari. Alang biasanya diletakkan di halaman belakang rumah atau dekat dengan kandang hewan.

c. Lumbung

Lumbung adalah tempat untuk menyimpan segala kebutuhan. Lumbung tidak sama dengan sambi dan alang, karena lumbung biasanya diletakkan di dalam rumah/kamar atau di tempat khusus diluar bangunan rumah. Lumbung berbentuk bulat, dibuat dari gulungan bedek kulitan dengan diameter 1,5 meter untuk lumbung yang ditempatkan di dalam rumah dan berdiameter 3 meter jika diletakkan di luar rumah.

Bahan untuk membuat lumbung adalah bambu, bedek, dan papan kayu sebagai lantai. Di bawah papan lantainya dibuatkan pondasi dari tanah dan batu pada empat sudutnya. Atapnya disangga dengan tiang kayu atau bambu berbentuk seperti atap rumah tinggal.

5. Tanaman yang harus dihindari

Di samping adanya bangunan pendukung, orang Sasak sangat memperhatikan tanaman yang ada di sekitarnya, karena mereka meyakini bahwa ada beberapa tanaman yang jika ditanam dapat mengundang malapetaka. Tanaman yang tidak boleh ditanam di sekitar rumah adat, antara lain:

Lolon Nangke (Pohon nangka).

Masyarakat Sasak menempatkan lolon nangke sebagai pohon agung sehingga harus berada di atas. Apabila lolon nangke ditanam di dekat rumah, dikhawatirkan akarnya akan masuk ke dalam pondasi rumah dan akan berada di bawah. Jika ini terjadi, maka penghuni rumah akan menderita penyakit pegal linu.

Lolon Sabo (Pohon Sawo)

Menurut keyakinan orang Sasak, lolon sabo mempunyai sifat dingin dan panas. Dengan sifat tersebut, keberadaan lolon sabo dapat menyebabkan disharmoni dalam rumah tangga, bahkan terkadang berakhir dengan perceraian.

Nyambuq Aer (Jambu Air)

Menurut masyarakat Sasak, nyambuq aer memiliki sifat yang sangat sensitif sehingga mudah mempengaruhi jiwa manusia dan sangat disenangi orang terutama anak-anak. Karena anak-anak menyukai nyambuq aer maka mereka akan memanjat nyambuq aer tersebut padahal di bawahnya ada orang tua, hal inilah yang menyebabkan tidak boleh karena akan berakibat kualat (tulah manuh) bagi anak itu sendiri.

Lolon Kelor (pohon Kelor)

Menurut masyarakat Sasak, lolon kelor mempunyai sifat yang sensitif dan daunnya cepat rontok. Jika lolon kelor berada di dekat rumah para dukun/belian, maka mantra mereka tidak akan bertuah (mentere pondal).

Kedondon (Kedondong)

Pohon ini tidak diperbolehkan ditanam di halaman rumah atau di sekitar pemukiman, karena diyakini bahwa pohon ini akan membawa petaka bagi hewan ternak peliharaan.

Ceremi (Ceremai/Cermen)

Pohon ini diyakini mengandung racun, oleh karena itu harus dijauhkan dari rumah atau lokasi pemukiman.

Lolon Johar (Pohon Johar)

Pohon ini konon mengandung gravitasi tinggi sehingga mampu mempengaruhi jiwa manusia. Menurut keyakinan masyarakat Sasak, keberadaan pohon ini akan menciutkan nyali orang yang memeliharanya. Oleh karena itu, pohon ini tidak boleh ditanam di halaman rumah atau di sekitar kampung/lokasi pemukiman.

Lolon Bile (Pohon Maja).

Masyarakat Sasak juga akan menghindari menanam lolon bile sebagai pagar halaman/lambah gubuknya, karena mereka yakin bahwa pohon ini akan menyebabkan seringnya terjadi perkelahian antar sesama penghuni kampung/gubug

6. Nilai-Nilai

Rumah merupakan ekspresi pemikiran paling nyata seorang individu atau kelompok dalam mengejewantahkan hubungan dengan sesama manusia (komunitas atau masyarakat), alam, dan dengan Tuhan (lingkup keyakinan). Keberadaan rumah Sasak, baik bentuk, tata ruang serta struktur bangunan rumahnya mengandung simbol-simbol yang sarat dengan nilai-nilai filsafat tinggi dan sakral. Di antara nilai-nilai tersebut diantaranya:

Atap rumah dengan design sangat rendah dengan pintu berukuran kecil bertujuan agar tamu yang datang harus merunduk bila memasuki pintu rumah yang relatif pendek. Sikap merunduk merupakan sikap saling hormat menghormati dan saling menghargai antara tamu dengan tuan rumah.

Pembangunan rumah dengan arah dan ukuran yang sama menunjukkan bahwa masyarakat hidup harmonis. Oleh karena itu, jika ada yang membangun rumah yang arahnya tidak sama dengan bangunan rumah yang sudah ada, maka itu menandakan bahwa penghuni kampung tersebut tidak harmonis.

Undak-undakan (tangga) tingkat tiga mempunyai pesan bahwa tingkat ketaqwaan ilmu pengetahuan dan kekayaan tiap-tiap manusia tidak akan sama. Oleh karena itu, diharapkan semua manusia senantiasa menyadari bahwa kekurangan dan kelebihan yang dimiliki merupakan rahmat Tuhan. Ada juga yang menganggap bahwa anak tangga sebanyak tiga buah menunjukkan simbol daur hidup manusia, yaitu lahir, berkembang, dan mati, atau simbol keluarga batih (ayah, ibu, dan anak).

Empat tiang penyangga berugaq/sekepat mempunyai pengertian: Kebenaran yang harus diutamakan; Kepercayaan diri dalam memegang amanah; dalam menyampaikan sesuatu hendaknya berlaku jujur dan polos; dan sebagai orang yang beriman hendaknya pandai/cerdas dalam menyikapi masah (tanggap). Sedangkan atapnya menggambarkan keyakian bahwa Tuhan Maha tahu atas segalanya, baik yang tersirat maupun yang tersurat. Ada juga yang beranggapan bahwa pesan dari berugak bertiang empat adalah simbol syariat Islam: Quran, Hadis, Ijma‘, Qiyas. Disamping itu, berugak yang ada di depan rumah merupakan bentuk rasa syukur terhadap rezeki yang diberikan Tuhan, dan juga sebagai tempat berinteraksi dengan masyarakat lainnya.

Bale tajuk, pada umumnya, berbentuk segi lima dengan tiang berjumlah lima melambangkan bahwa masyarakat Sasak adalah masyarakat yang religius yang menurut keyakinan mereka, setiap mahluk hidup pasti akan mati dan setiap sesuatu yang lahir maka pasti akan berakhir.

Keberadaan lumbung menunjukkan bahwa warga sasak harus hidup hemat dan tidak boros. Bahan-bahan yang disimpan di dalamnya, hanya bisa diambil pada waktu tertentu, misalnya sekali sebulan sebagai persiapan untuk keperluan mendadak, misalnya karena gagal panen atau karena ada salah satu anggota keluarga meninggal.

Jika terus digali, kita akan menemukan lebih banyak lagi nilai-nilai yang terkandung dalam rumah adat Sasak


Read More......